One Day One Juz

One Day One Juz - Mengkhatamkan satu juz dalam satu hari adalah amalan yang baik. Namun lebih baik lagi jika ditambah merenungkan setiap ayat yang dibaca, tidak tergesa-gesa dalam membaca dan berusaha mengkaji tafsir tiap ayat yang menarik untuk diulas.



Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Memahami Al Qur’an dan merenungkannya akan membuahkan iman. Adapun jika Al Qur’an cuma sekedar dibaca tanpa ada pemahaman dan perenungan (tadabbur), maka itu bisa pula dilakukan oleh orang fajir (ahli maksiat) dan munafik, di samping dilakukan oleh pelaku kebaikan dan orang beriman” (Zaadul Ma’ad, 1: 327)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz -mufti kerajaan Saudi Arabia di masa silam- ditanya, “Berapa hari seseorang butuh untuk menghatamkan Al Qur’an dengan memahami dan tadabbur? Apakah jika seseorang mengkhatamkan sampai dua bulan, dia disebut telat dalam mengkhatamkan?”

Syaikh rahimahullah menjawab,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, “Khatamkanlah Al Qur’an dalam sebulan.” ‘Abdullah meminta lagi, “Tambahkan lebih singkat dari itu, wahai Rasulullah.” Hingga beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam waktu seminggu.” Kemudian ia meminta lagi mengkhatamkan hanya dalam waktu tiga hari.

Dahulu para sahabat mengkhatamkan Al Qur’an dalam waktu seminggu. Jadi lebih bagus -atau paling baik- mengkhatamkan Al Qur’an dalam waktu seminggu. Namun jika dalam waktu tiga hari bisa dikhatamkan, maka harus tetap diperhatikan tadabbur, bisa memikirkan dan khusyu’ saat membaca.

Jika seseorang mengkhatamkan Al Qur’an sebulan atau dua bulan, maka tidak mengapa dengan tetap memperhatikan tadabbur (perenungan Al Qur’an).

Jika seseorang merutinkan setiap harinya menghatamkan satu juz dalam satu hari (c, maka itu baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampernah berkata pada ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, “Khatamkanlah Al Qur’an dalam waktu sebulan. Dan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang semisal.” Jadi maksudnya adalah khatamkanlah Al Qur’an dengan penuh khusyu dan tadabbur, dengan memikirkan kandungannya serta mengambil faedah. Jika ada yang mengkhatamkan Al Qur’an dalam waktu sebulan atau dua bulan, maka tidaklah masalah. Namun jangan sampai kurang dari tiga hari. Jika tiga hari ingin mengkhatamkan, maka jadinya dalam sehari semalam mesti mengkhatamkan 10 juz. Itu minimal yang mesti dilakukan. [Fatawa Syaikh Ibnu Baz, 24: 354-355]

Hanya Allah yang memberi taufik.

[Source Rumaysho.com with Posted by Aldiripani.com]

Milikilah Sifat Malu

Milikilah Sifat Malu - Seperti yang telah kita ketahui bersama, Islam adalah agama yang sempurna dan tidaklah satu perkara kecil pun melainkan telah diatur oleh Islam. Begitu juga dalam perkara wanita, Islam juga telah mengaturnya. 


Islam sangat memperhatikannya dan menempatkan para wanita sesuai dengan kedudukannya. Dan agama yang mulia ini juga telah mengatur begaimana adab-adab dalam bergaul, berpakaian, dan sebagainya. 

Di mana segala yang diperintahkan dan diatur oleh Allah dan Rasul-Nya pasti terdapat maslahah (kebaikan) di balik itu semua. Dan segala yang dilarang pasti ada mafsadah (keburukan) baik mafsadah itu murni ataupun mafsadah itu lebih besar daripada maslahah yang diperoleh.

Sungguh sangat menyedihkan sedikit demi sedikit aturan yang telah dibuat oleh Allah dan Rasul-Nya dilanggar oleh anak Adam khususnya kaum Hawa. Di antara fenomena yang kita saksikan bersama, kaum hawa dewasa ini mulai menanggalkan dan luntur sifat malunya. Mereka tidak merasa malu bergaul bebas dengan kaum Adam! Bahkan yang lebih mengenaskan, banyak dari kaum hawa yang berani mengumbar aurat (berpakaian tapi telanjang) di hadapan umum! Fainna lillahi wa inna ilaihi rooji’un!

Lantas bagaimanakah tatanan Islam mengenai sifat malu bagi wanita?

Maka cermatilah kisah yang difirmankan Allah berikut ini,

وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ (23) فَسَقَى لَهُمَا

“Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya.” (Al Qoshosh : 23-24)

Lihatlah bagaimana bagusnya sifat kedua wanita ini, mereka malu berdesak-desakan dengan kaum lelaki untuk meminumkan ternaknya. LALU BAGAIMANA DENGAN WANITA SAAT INI! Sepertinya rasa malu sudah hampir sirna …

Tidak cukup sampai di situ kebagusan akhlaq kedua wanita tersebut. Lihatlah bagaimana sifat mereka tatkala datang untuk memanggil Musa ‘alaihis salaam; Allah melanjutkan firman-Nya,

فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan penuh rasa malu, ia berkata, ‘Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.’” (Al Qoshosh : 25). Dengan penuh rasa malu, ia memanggil Musa. Sifat yang luar biasa …

Ayat yang mulia ini,menjelaskan bagaimana seharusnya kaum wanita berakhlaq dan bersifat malu. Allah menyifati gadis wanita yang mulia ini dengan cara jalannya yang penuh dengan rasa malu dan terhormat.

Amirul Mukminin Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu mengatakan,

كانت مستتَرة بكم درْعها.

“Gadis itu menemui Musa ‘alaihis salam dengan pakaian yang tertutup rapat.” (Tafsirul Qur’anil ‘Azhiim, Ibnu Katsir). Rasa malunya berarti dengan menutupi dirinya dengan pakaian syar’i yang sempurna.

Maka wahai para wanita, sadarlah dari kelalaian ini. Kembalilah ke jalan Rabbmu. Janganlah kalian tertipu dengan jebakan, bujukan, dan propaganda syaithon yang ingin mengeluarkan para wanita dari sifat keasliannya.

Dan batasilah pergaulan antara ikhwan dan akhwat, jangan sampai mudah untuk bergaul bebas walaupun sudah memenuhi pakaian yang syar’i dan sudah menjadi anggota Keluarga Muslim. Dan ingatlah syaithon akan selalu menyesatkan anak Adam, sehingga perkara yang semula dianggap jelek akan dibuat samar oleh syaithon sehingga perkara yang terlarang ini (bergaul tanpa batas antara ikhwan dan akhwat) menjadi kelihatan baik dan dianggap biasa.

Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits dari Usamah bin Zaid,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidak ada godaan yang kutinggalkan yang lebih dahsyat menggoda para pria selain dari godaan para wanita.” (HR. Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2741)

Hanya Allah yang beri taufik. Moga Allah anugerahkan pada kita sifat yang mulia ini.


[Source remajaislam.com with Posted by Aldiripani.com]

Banyak Ilmu, Namun Lupa Belajar Adab dan Akhlak

Banyak Ilmu, Namun Lupa Belajar Adab dan Akhlak - Ketahuilah bahwa ulama salaf sangat perhatian sekali pada masalah adab dan akhlak. Mereka pun mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan menemukan berbagai macam khilaf ulama. 



Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,

تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,

بالأدب تفهم العلم

“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

Guru penulis, Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”

Oleh karenanya, para ulama sangat perhatian sekali mempelajarinya.

Ibnul Mubarok berkata,

تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين

“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”

Ibnu Sirin berkata,

كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم

“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”

Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok,

نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث

“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.” Kata Syaikh Sholeh Al Ushoimi, “Ini yang terjadi di zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari.”

Dalam Siyar A’lamin Nubala’ karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata,

ما نقلنا من أدب مالك أكثر مما تعلمنا من علمه

“Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.” –

Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata,

تعلم من أدبه قبل علمه

“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”

Lihatlah doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya dianugerahi akhlak yang mulia,

اللَّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ

“Allahummahdinii li ahsanil akhlaaqi laa yahdi li-ahsanihaa illa anta, washrif ‘anni sayyi-ahaa, laa yashrif ‘anni sayyi-ahaa illa anta [artinya: Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak dariku, tidak ada yang memalinggkannya kecuali Engkau].” (HR. Muslim no. 771, dari ‘Ali bin Abi Tholib)


[Source Rumaysho.com with Posted by Aldiripani.com]

Waktu Terbaik Untuk Tadabbur Al-Qur'an

Waktu Terbaik Untuk Tadabbur Al-Qur'anRasanya, tak ada yang lebih lezat di kehidupan dunia ini selain mentadabburi Alquran di sepanjang waktu. Sepanjang waktu hati bersahabat dengan Alquran, adalah hal yang paling mengasyikkan dan sangat indah. Namun, tahukah Anda, ada suatu waktu yang paling cocok dan paling istimewa untuk mentadabburi Alquran.



Itulah saat-saat shalat..

Terutama shalat lima waktu.

Allah berfirman dalam hadis qudsi,


ما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه

Tak ada ibadah yang dilakukan hamba-Ku untuk mendekatkan dirinya kepada-Ku, melainkan ibadah-ibadah yang Aku wajibkan kepadanya.

Shalat lima waktu, adalah kewajiban yang paling utama setelah tauhid. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– mengatakan,


ومَا وَردَ مِن الفَضلِ لقَارئ القُرآن يَتنَاولُ المُصلِّي أعظَمَ ممَّا يتَناولُ غَيرَه

“Pahala yang diperoleh seorang yang membaca Alquran, sementara ia sedang shalat, itu lebih besar pahalanya daripada saat ia membacanya di luar sholat.”

Dengan ungkapan lain, bisa anda katakan, “Pahala yang diperoleh orang yang mentadabburi Alquran, sementara ia sedang sholat, itu lebih besar pahalanya daripada saat ia mentadabburinya di luar shalat.’’

Maka, seyogyanya seorang muslim berhasrat tinggi untuk mampu mentadabburi Alquran dalam shalatnya. Terlebih surat Al-fatihah, yang selalu diulang di setiap raka’at shalat. Serta bersemangat untuk mampu mentadabburi setiap ayat yang dia baca atau dia dengar, pada shalat sir (sholat yang bacaan dibaca lirih: zuhur, asar) maupun shalat jahr (sholat yang bacaannya dikeraskan: maghrib, isya, subuh).

Karena perjuangan keras jiwa ini, untuk dapat melakukan tadabbur Alquran saat-saat sholat, adalah hal yang paling bermanfaat untuk seorang hamba. Bahkan, faktor terkuat yang dapat membantu meraih kekhusyu’an shalat dan hadirnya hati. Sehingga seorang hamba dapat meraih pahala yang lebih sempurna dari shalatnya. Karena jatah pahala yang didapat seorang hamba dari shalat yang ia lakukan, sesuai kadar kekhusy’annya.

Semoga bermanfaat..

[Source Muslim.or.id with Posted by Aldiripani.com]

Refrensi : 

Diterjemahkan secara bebas dari : https://www.al-badr.net/muqolat/4883 (Situs resmi Syaikh Prof. Dr. Abdurrazaq Al-Badr -hafidzahullah-).

Hukum Karma dalam Islam

Hukum Karma dalam Islam - Ada beberapa poin yang kami tangkap dari penjelasan mengenai apa itu hukum karma berdasarkan beberapa sumber :

1. Merupakan hukum sebab-akibat, ada aksi dan ada reaksi. Jika berbuat baik, maka akan mendapat balasan baik, jika berbuat buruk maka akan mendapatkan balasan buruk juga.

2. Menebak hal ghaib, semisal menebak bahwa engkau mendapatkan hal buruk ini karena perbuatan burukmu yang itu (disebutkan perbuatannya)

3. Adanya keyakinanan rienkarnasi kembali ke dunia setelah kematian, sebagai akibat perbuatannya yang lalu pada kehidupan sebelumnya [1]

Bahkan ada pendapat seperti ini mengenai hukum karma:

“Dhamma Niyama / Hukum Karma tidak membutuhkan kepercayaan Anda.. siapa pun Buddha, Nabi, Setan, Manusia, Binatang, Tumbuhan dan semua keberadaan di Seluruh Semesta ini termasuk TUHAN tunduk pada HUKUM DHAMMA NIYAMA”.[2]

Sejujurnya kami tidak tahu pasti apa itu hukum karma, terlepas dari apakah benar pengertian yang kami kumpulkan dari berbebagai sumber, kami ingin menjelaskan bahwa agama Islam tidak membenarkan ajaran karma dengan pengertian di atas.


Dalam Al-Muasu’ah Al-Muyassarah dijelaskan,

الكارما – عند الهندوس – : قانون الجزاء ، أي أن نظام الكون إلهي قائم على العدل المحض، هذا العدل الذي سيقع لا محالة إما في الحياة الحاضرة أو في الحياة القادمة ، وجزاء حياةٍ يكون في حياة أخرى ، والأرض هي دار الابتلاء كما أنها دار الجزاء والثواب

“Karma menurut ajaran hindus adalah “hukum  balasan” yaitu aturan ilahi yang berdasarkan keadilan murni. Keadilan ini terjadi bisa jadi pada kehidupan saat ini atau di kehidupan yang akan datang. Balasan kehidupan ini akan terjadi pada kehidupan selanjutnya. Bumi adalah tempat ujian sebagaimana juga sebagai tempat balasan kebaikan dan keburukan.” [3]

Pandangan Islam mengenai ajaran karma

Pertama: Tidak dibenarkan jika memastikan hukum sebab akibat dengan sebab yang pasti atau tertentu

Misalnya: engkau sakit parah sekarang ini karena dahulu engkau sering mencuri, sekarang engkau kena hukum karma.

Hal ini termasuk menebak hal-hal ghaib, karena:

“Darimana ia tahu bahwa penyebab sakit parah adalah karena dosa mencuri? Bukankah ada dosa-dosa lainnya yang tersembunyi bahkan lebih besar”

Bisa jadi sakit parah tersebut karena ujian dari Allah atau dosa lainnya yang pernah ia berbuat tanpa diketahui orang lain sama sekali. Bisa jadi sakit parah karena dosanya berupa keyakinan dan aqidah dalam hati yang salah mengenai agama dan ajaran Islam.

Menebak hal ghaib termasuk dosa kesyirikan yang besar.

Allah berfirman,

قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ

“Katakanlah: Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah” (An-Naml: 65).

Bahkan apabila kita percaya dengan tebakan hal ghaib maka ini termasuk kekufuran.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia membenarkannya, maka ia berarti telah kufur pada Al Qur’an yang telah diturunkan pada Muhammad.”[4]

Tidak boleh juga menebak hal ghaib meskipun hanya bercanda dan bermain-main. Bermain-main menebak karma juga tidak boleh, karena mendatangi tukang ramal saja ada ancamannya, baik kita membenarkan atau tidak membenarkan.

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal dan bertanya padanya tentang sesuatu, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.”[5]

Kedua: Tidak dibenarkan ajaran reinkarnasi

Dalam ajaran Islam tidak ada ajaran reinkarnasi. Manusia apabila telah meninggal, maka ia tidak akan kembali ke kehidupan dunia lagi akan tetapi akan mempertanggungjawabkannya di akhirat dan kemudian hidup selamanya di kehidupan akhirat.

Begitu banyak nash yang menjelaskan hal ini. Allah berfirman,

أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ ۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ

“Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit” (At-Taubah:38).

Allah juga berfirman:

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ﴿١٦﴾ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ

“Tetapi kamu (orang-orang kafir) lebih memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” (Al-A’la: 16-17)

Demikian semoga bermanfaat.


[Source Muslim.or.id with Posted by Aldiripani.com]

Refrensi :

[1] kami kumpulkan dari beberapa sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Karma ;
https://id.wikipedia.org/wiki/Karma_dalam_agama_Buddha ; http://www.pengertianartidefinisi.com/pengertian-hukum-karma/

[2] https://www.kompasiana.com/sudhana/hukum-karma-adalah-hukum-perbuatan_552c47b36ea83432438b4571

[3] Al-Muasu’ah Al-Muyassarah Fil Adyan wa Mazahib wal Ahzab hal 728

[4] HR. Ahmad no. 9532, hasan


[5] HR. Muslim no. 2230

Menuntut Ilmu dan Beramal Sholeh

Menuntut Ilmu dan Beramal Sholeh - Para salaf rahimahumullahu Ta’ala banyak menyampaikan perkataan dan nasihat untuk orang-orang yang tidak menyibukkan dirinya dalam berbagai macam amal ketaatan atau amal ibadah. Juga tidak memiliki perhatian dalam beramal kebaikan.


Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,

مثل علم لايعمل به كمثل كنز لاينفق منه في سبيل الله عز و جل

“Permisalan ilmu (agama) yang tidak diamalkan itu seperti tabungan harta yang tidak dibelanjakan di jalan Allah.” [1]

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ditanya tentang seseorang yang memperbanyak menulis hadits, beliau berkata,

“Sepatutnya dia memperbanyak amal dengan hadits sekadar dengan peningkatan (tambahan) hadits yang dia dapatkan.”

Kemudian beliau berkata lagi,

سبل العلم مثل سبل المال، إن المال إذا ازداد ازدادت زكاته

“Jalan (untuk mendapatkan) ilmu itu seperti jalan (untuk mendapatkan) harta. Jika harta bertambah, bertambah pula zakatnya.” [2]

Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah berkata,

“Sebagaimana harta itu tidak bermanfaat kecuali dengan dibelanjakan, demikian pula ilmu itu tidaklah bermanfaat kecuali bagi orang yang mengamalkannya, dan memperhatikan kewajibannya. Maka hendaklah seseorang itu memperhatikan dirinya sendiri dan memanfaatkan waktunya. Karena sesungguhnya tempat tinggal kita di dunia hanyalah sebentar, kematian kita sudah dekat dan jalan itu sungguh menakutkan. Mayoritas manusia tertipu dengan dunia dan masalah (nasib di akhirat) adalah masalah yang besar. Adapun yang mengawasi kita adalah Dzat Yang maha melihat, Allah Ta’ala senantiasa mengawasi kita, dan kepada Allah-lah tempat kembali.

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)

“Barangsiapa yang beramal seberat semut kecil berupa kebaikan, dia pun akan melihat hasilnya. Dan barangsiapa yang beramal seberat semut kecil berupa keburukan, dia pun akan melihat hasilnya.” (QS. Az-Zalzalah [99]: 7-8) [3]

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

أنزل القرآن ليعمل به؛ فاتخذ الناس تلاوته عملا

“Al-Qur’an itu diturunkan untuk diamalkan. Sedangkan manusia menjadikan membaca Al-Qur’an sebagai amalnya.”

Ibnul Jauzi rahimahullah menjelaskan perkataan Hasan Al-Bashri di atas dengan mengatakan, “Maksudnya, sesungguhnya manusia hanya mencukupkan diri dengan membaca Al-Qur’an dan meninggalkan beramal dengan Al-Qur’an.” [4]

Seseorang berkata kepada Ibrahim bin Adham, “Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan.’ (QS. Ghafir [40]: 60)

Apa pendapatmu ketika kami berdoa namun tidak dikabulkan?”

Ibrahim pun berkata kepada orang tersebut, “Ini disebabkan oleh lima perkara.”

Orang tersebut bertanya, “Apa itu?”

Ibrahim bin Adham menjawab, “(1) Engkau mengenal Allah, namun Engkau tidak menunaikan hak Allah (yaitu ibadah, pen.). (2) Engkau membaca Al-Qur’an, namun Engkau tidak mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an. (3) Kalian mengatakan, ‘Kami mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam’, namun kalian tinggalkan sunnah-sunnah beliau. (4) Kalian mengatakan, ‘Kami melaknat iblis’, namun kalian justru mentaatinya. (5) Kalian tinggalkan aib-aib (kekurangan) kalian, dan kalian sibuk dengan aib orang lain.” [5]

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hazim [6] yang mengatakan,

رضي الناس اليوم بالعلم و تركوا العمل

“Hari ini manusia puas dengan ilmu dan mereka meninggalkan amal.” [7]

Malik bin Dinar rahimahullah berkata,

“Sesungguhnya seorang hamba jika mencari ilmu untuk mengamalkannya, maka ilmu akan masuk ke dalam hatinya (sehingga membuahkan amal, pen.). Jika dia menuntut ilmu untuk selain tujuan tersebut, maka dia akan semakin bertambah maksiat atau semakin sombong (dengan ilmunya).” [8]

Termasuk perkataan yang paling indah dalam masalah ini adalah perkataan Sufyan rahimahullah ketika ditanya, “Dikatakan kepada beliau, manakah yang lebih Engkau cintai, menuntut ilmu ataukah beramal?”

Sufyan menjawab,

إنما يراد العلم للعمل، فلا تدع طلب العلم للعمل، ولا تدع العمل لطلب العلم

“Sesungguhnya ilmu itu hanyalah dimaksudkan untuk diamalkan. Maka janganlah Engkau meninggalkan menuntut ilmu dengan alasan sibuk beramal. Namun janganlah Engkau meninggalkan beramal dengan alasan sibuk menuntut ilmu.” [9]

Artinya, dua hal ini (menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu), haruslah dilaksanakan secara seimbang.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memudahkan kita untuk mengamalkan ilmu yang telah kita dapatkan. [10]


[Source Muslim.or.id with Posted by Aldiripani.com]

Refrensi :
[1]     Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Iqtidha’ (hal. 12). Al-Albani berkata, “Sanadnya mauquf dan tidak masalah.”
[2]     Idem., hal. 148.
[3]     Idem., hal. 20.
[4]     Talbis Ibliis, hal. 137.
[5]     Jami’ Bayaan Al-‘Ilmi, hal. 1220.
[6]     Beliau adalah Salamah bin Dinar Al-A’raj, yaitu seorang ahli ibadah yang tsiqah.
[7]     Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-‘Ilal (2659).
[8]     Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Iqtidha’ (hal. 31, 32, 33). Al-Albani berkata, “Sanadnya mauquf dan tidak masalah.”
[9]     Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 7/12.

[10] Disarikan dari kitab Tsamaratul ‘Ilmi Al-‘Amalu, karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr, hal. 41-45.

5 Perusak Amal di Bulan Ramadhan

5 Perusak Amal di Bulan Ramadhan - Lima hal ini patut dihindari ketika kita menjalankan puasa di Bulan Ramadhan. Inilah hal-hal perusak di bulan Ramadhan.


Perusak #01: Tanpa ilmu

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

اَنَّ العَامِلَ بِلَا عِلْمٍ كَالسَّائِرِ بِلاَ دَلِيْلٍ وَمَعْلُوْمٌ اَنَّ عَطَبَ مِثْلِ هَذَا اَقْرَبُ مِنْ سَلاَمَتِهِ وَاِنْ قُدِّرَ سَلاَمَتُهُ اِتِّفَاقًا نَادِرًا فَهُوَ غَيْرُ مَحْمُوْدٍ بَلْ مَذْمُوْمٌ عِنْدَ العُقَلاَءِ

“Orang yang beramal tanpa ilmu bagai orang yang berjalan tanpa ada penuntun. Sudah dimaklumi bahwa orang yang rusak karena berjalan tanpa penuntun tadi akan mendapatkan kesulitan dan sulit bisa selamat. Taruhlah ia bisa selamat, namun itu jarang. Menurut orang yang berakal, ia tetap saja tidak dipuji bahkan dapat celaan.”

Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata,

مَنْ فَارَقَ الدَّلِيْل ضَلَّ السَّبِيْل وَلاَ دَلِيْلَ إِلاَّ بِمَا جَاءَ بِهِ الرَّسُوْل

“Siapa yang terpisah dari penuntun jalannya, maka tentu ia bisa tersesat. Tidak ada penuntun yang terbaik bagi kita selain dengan mengikuti ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (Lihat Miftah Dar As-Sa’adah, 1:299) 

Perusak #02: Masih meneruskan maksiat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga saja.” (HR. Ahmad, 2:373. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanadnya jayyid)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari, no. 1903)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, ‘Aku sedang puasa, aku sedang puasa’.” (HR. Ibnu Khuzaimah, 3:242. Al-A’zhami mengatakan bahwa sanad hadits tersebut shahih). Lagwu adalah perkataan sia-sia dan semisalnya yang tidak berfaedah. Sedangkan rofats adalah istilah untuk setiap hal yang diinginkan laki-laki pada wanita atau dapat pula bermakna kata-kata kotor.

Perusak #03: Masih pelit dengan harta

Padahal di bulan Ramadhan adalah waktu terbaik untuk berderma.

Dari ‘Ali, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

« إِنَّ فِى الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا ». فَقَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ »

“Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.” Lantas seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, “Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasululullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Untuk orang yang berkata benar, yang memberi makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari diwaktu manusia pada tidur.” (HR. Tirmidzi, no. 1984. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Perusak #04: Puasa tetapi tidak shalat

Pakar fikih Kerajaan Saudi Arabia pada masa silam, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apa hukum orang yang berpuasa namun meninggalkan shalat?” Beliau rahimahullah menjawab, “Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan shalat tidaklah diterima karena orang yang meninggalkan shalat berarti kafir dan murtad. Dalil bahwa meninggalkan shalat termasuk bentuk kekafiran adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

”Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS. At-Taubah: 11)

Alasan lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, no. 82)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah melanjutkan, “Kami katakan, ‘Shalatlah kemudian tunaikanlah puasa.’ Adapun jika engkau puasa namun tidak shalat, amalan puasamu akan tertolak karena orang kafir (sebab meninggalkan shalat) tidak diterima ibadah darinya.” (Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 17:62)

Perusak #05: Shalat tarawih super ngebut

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ

“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim, no. 756)

Dari Abu Hurairah, beliau berkata,

أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari, no. 1220 dan Muslim, no. 545). 

Ibnu Hajar rahimahullah membawakan hadits  di atas dalam kitab beliau Bulughul Maram, Bab “Dorongan agar khusyu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’  dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Maram, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49:3, Asy-Syamilah)

Semoga Allah menerima setiap amalan kita di bulan Ramadhan dan dijauhkan dari kesia-siaan dalam beramal.

[Source Rumaysho.com with Posted by Aldiripani.com]

Hidupkan Bulan Ramadhan dengan Sunnah

Hidupkan Bulan Ramadhan dengan SunnahBulan Puasa Sebentar lagi, mari kita persiapkan diri untuk amalan-amalan ini.

Berikut adalah sunnah-sunnah puasa yang dapat kita hidupkan di bulan Ramadhan berdasarkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat.


[1] Mengakhirkan Sahur 

Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan dan menganjurkan kepada orang yang hendak berpuasa agar makan sahur. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَصُومَ فَلْيَتَسَحَّرْ بِشَىْءٍ

“Barangsiapa ingin berpuasa, maka hendaklah dia bersahur.” (HR. Ahmad. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani karena memiliki banyak syawahid. Lihat Shohihul Jami’) 

Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan demikian karena di dalam sahur terdapat keberkahan. Dari pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu– berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Keberkahan yang dimaksudkan di sini di antaranya adalah dengan makan sahur seseorang akan menjadi kuat berpuasa mulai dari terbit fajar hingga matahari tenggelam. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/451, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) 

Barokah lain juga adalah sebagai pembeda antara puasa Yahudi-Nashrani (Ahlul Kitab) dengan umat ini. Dari Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

“Perbedaan antara puasa kita (umat Islam) dan puasa ahlul kitab terletak pada makan sahur.” (HR. Muslim). 

Orang ahli kitab ketika berpuasa, mereka makan sahur sebelum pertengahan malam dan mereka tidak makan sahur sama sekali. Kaum muslimin diberi keutamaan dalam berpuasa yaitu diberi kemudahan untuk makan sahur. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang untuk meninggalkan sahur, di mana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى المُتَسَحِّرِينَ

“Sahur adalah makanan yang penuh berkah. Oleh karena itu, janganlah kalian meninggalkannya sekalipun hanya dengan minum seteguk air. Karena sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.” (HR. Ahmad. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’) 

Dan sangat dianjurkan untuk mengakhirkan waktu sahur hingga menjelang fajar. Hal ini dapat dilihat dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas berkata,”Berapa lama jarak antara adzan dan sahur kalian?” Kemudian Zaid berkata,”Sekitar 50 ayat”. (HR. Bukhari dan Muslim)

[2] Menyegerakan Berbuka 

Menyegerakan berbuka akan mendatangkan kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Menyegerakan berbuka juga berarti seseorang konsisten dalam menjalankan sunnah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَزَالُ أُمَّتِى عَلَى سُنَّتِى مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُجُوْمَ

“Umatku akan senantiasa berada di atas sunnahku selama tidak menunggu munculnya bintang untuk berbuka puasa.” (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Targib wa Tarhib). 

Dan inilah yang ditiru oleh Syi’ah Rafidhah, mereka meniru Yahudi dan Nashrani dalam berbuka puasa yaitu baru berbuka ketika munculnya bintang. Semoga Allah melindungi kita dari kesesatan mereka. (Lihat Shifat Shoum Nabi, hal. 63) 

Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum menunaikan shalat maghrib dan bukanlah menunggu hingga shalat maghrib selesai dikerjakan. Inilah contoh dan akhlaq dari suri tauladan kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya berbuka dengan rothb (kurma basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada rothb, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan meminum air putih.” (HR. Abu Daud, dikatakan hasan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud). 

Hadits ini menunjukkan bahwa ketika berbuka dianjurkan berbuka dengan kurma (rothb atau tamr) sebagaimana yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan.

[3] Berdo’a Ketika Berbuka 

Perlu diketahui bersama bahwa do’a ketika berbuka adalah salah satu do’a yang mustajab dan tidak akan ditolak. Maka berdo’alah dengan penuh keyakinan bahwa do’amu akan dikabulkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : [1] Pemimpin yang adil, [2] Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, [3] Do’a orang yang terdzolimi.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi) 

Do’a ketika berbuka adalah sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berbuka beliau membaca :

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Dzahabadh dhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)

[4] Memberi Makan Orang Berbuka

Para pembaca sekalian, beri makanlah kepada orang yang berpuasa karena ini akan mendatangkan pahala dan kebaikan yang melimpah ruah. Lihatlah apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا 

“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi dan dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)

[5] Memperbanyak ibadah di bulan Ramadhan 

Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah memperbanyak berbagai macam ibadah di bulan Ramadhan. Jibril ‘alaihis sallam biasa membacakan Al Qur’an kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan. Dan apabila Jibril menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlihat bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling suka memberi bagaikan hembusan angin. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik manusia yang paling banyak bersedekah, berbuat ihsan (kebaikan), membaca Al Qur’an, shalat, dzikir dan i’tikaf. (Zadul Ma’ad, II/29, Ibnul Qayyim, , Mawqi’ul Islam-Maktabah Syamilah)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Hukum Muslim Masuk Gereja

Hukum Muslim Masuk Gereja - Bolehkah seorang muslim masuk gereja?


Ada tiga pendapat para ulama dalam hal ini.

Pendapat pertama: Hukum masuk gereja itu haram. Inilah pendapat ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah. Namun ulama Syafi’iyah mengaitkan hukum haram jika di gereja tersebut ada gambar. Ulama Hanafiyah melarang secara mutlak karena gereja adalah tempat berdiamnya setan.

Pendapat kedua: Hukum masuk gereja itu makruh. Inilah pendapat ulama Hambali. Namun ulama Hambali mengaitkan terlarangnya jika di situ terdapat gambar.

Pendapat ketiga: Boleh secara mutlak masuk gereja. Inilah pendapat ulama Hambali.

Dari pendapat yang ada, intinya tidak ada dalil tegas yang melarang muslim masuk gereja. Adapun adanya patung atau gambar di suatu tempat, bukanlah berarti tidak boleh masuk ke tempat tersebut. Yang berdosa saat itu adalah yang membuat gambar atau patung. Adapun seseorang yang masuk tempat yang di situ terdapat patung, maka mesti ada nasehat. Tidak wajib keluar dari tempat tersebut.

Riwayat yang mendukung bolehnya masuk gereja,

وروى ابن عائذ في ” فتوح الشام ” أن النصارى صنعوا لعمر رضي الله عنه حين قدم الشام طعاما فدعوه ، فقال أين هو : قالوا : في الكنيسة ، فأبى أن يذهب ، وقال لعلي : امض بالناس فليتغدوا ، فذهب علي بالناس ، فدخل الكنيسة وتغدى هو والمسلمون ، وجعل علي ينظر إلى الصور ويقول : ما علي أمير المؤمنين لو دخل .

Ibnu ‘Aidz meriwayatkan dalam Futuhusy Syam, bahwa orang Nashrani pernah membuatkan sajian untuk ‘Umar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau tiba di Syam. Ketika itu beliau diundang makan, maka tanya beliau, “Di mana undangan makan tersebut?” “Di gereja”, ada yang menjawab. Umar pun enggan memenuhi undangan tersebut. Umar pun mengatakan pada ‘Ali, “Pergi engkau bersama yang lainnya, lantas makanlah di sana.” Ali pun pergi bersama yang lain. Ali memasuki gereja, lantas beliau dan kaum muslimin lainnya makan di sana. Ketika itu, Ali melihat patung-patung yang ada dalam gereja lalu beliau berkata, “Apa yang Ali –amirul mukminin- lakukan ketika ia masuk?”

Ibnu Qudamah rahimahullah pernah menerangkan mengenai hukum masuk ke suatu tempat yang ada patung di dalamnya. Beliau memaparkan, “Seperti itu tidaklah haram. Adapun bolehnya tidak memenuhi undangan orang yang memajang patung (gambar) di rumahnya adalah sebagai bentuk punishment bagi yang mengundang atas kemungkaran yang ia lakukan. Sebenarnya tidak wajib bagi yang melihat seperti itu untuk keluar dari rumah. Inilah yang nampak dari perkataan Imam Ahmad.” (Al Mughni, 8: 113)

Dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah (2: 115) disebutkan, “Jika pergi ke gereja untuk menunjukkan sikap toleransi, maka tidak boleh. Namun jika itu sebagai langkah awal untuk berdakwah, mengajak non muslim pada Islam, tetapi tanpa turut serta dalam ibadah mereka, juga tidak khawatir terpengaruh dengan ibadah, kebiasaan dan taklid pada mereka, itu boleh.”

Penjelasan di atas diringkas dari Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 111832.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.


[Source Rumaysho.com with Posted by Aldiripani.com]

Hukum Mewarnai Rambut

Hukum Mewarnai Rambut - Bagaimana hukum menyemir/mewarnai rambut yang belum beruban menjadi warna lain?

Padahal rambut tersebut masih dalam keadaan hitam, belum beruban, namun ada yang ingin berpenampilan cantik rupawan dengan menyemirnya.


Ketika beruban jelas boleh disemir/diwarnai, asalkan dengan warna selain hitam.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ”Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) datang dalam keadaan kepala dan jenggotnya telah memutih (seperti kapas, artinya beliau telah beruban). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

“Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim no. 2102).

Ulama besar Syafi’iyah, Imam Nawawi memberikan judul Bab untuk hadits di atas “Dianjurkannya menyemir uban dengan shofroh (warna kuning), hamroh (warna merah) dan diharamkan menggunakan warna hitam”.

Bagaimana Kalau Belum Beruban?

Yang jelas jika belum beruban, juga tidak disemir atau tidak diwarnai. Adapun yang dilakukan selama ini adalah karena mengikuti gaya hidup non muslim atau para artis yang fasik. Karena maksudnya seperti itu, tentu saja tidak dibolehkan. Karena kita dilarang untuk tasyabbuh.

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031, hasan menurut Al Hafizh Abu Thohir)

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا

“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Syaikh Shalih Al Fauzan –guru penulis- mengatakan, “Adapun hukum mewarnai rambut wanita yang masih berwarna hitam diubah ke warna lainnya, seperti itu menurutku tidak boleh karena tidak ada faktor pendorong untuk melakukannya. Karena warna hitam sendiri sudah menunjukkan kecantikan. Kalau beruban barulah butuh akan warna (selain hitam). Yang ada dari gaya mewarnai rambut hanyalah meniru mode orang kafir.” (Tanbihaat ‘ala Ahkami Takhtasshu bil Mu’minaat, hal. 14).

Jadi kesimpulannya tidak boleh diwarnai jika belum beruban. Jika sudah beruban boleh di semir atau diwarnai tapi hindari semir atau warna hitam.

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

[Source Rumaysho.com with Posted by Aldiripani.com]